Michaela Ozelsel, penulis buku Spootlight dan Forty Days: The Diary of a
Traditional Solitary Sufi Retreat, menyebut bahwa di atas semua latihan dan gemblengan
spiritual, guru tetap menjadi sebuah sentral yang penting. Guru, kata Ozelsel,
mewujudkan pengajaran sebagai representasi tradisi sebagai sesuatu yang hidup.
Guru saya, kata Ozelsel, “mengambarkan peran guru dengan analogi: Anda bisa
memberi pertolongan pertama pada diri anda, dengan memasang perban pada luka.
Tetapi Anda tidak bisa mengoperasi diri sendiri.”Guru adalah orang yang bisa
melakukan dan membawa muridnya pada momen, dalam istilahnya Ozelsel,
“penerobosan”, atau dalam kata-kata gurunya Ozelsel, “mengoperasi”. Dua frase
itu, “penerobosan” dan “mengoperasi”, membawa kita pada imaji akan sebuah gerak
atau laku yang menerabas kulit, luaran, sesuatu yang kasat mata; untuk kemudian
menemui dan menemukan sesuatu yang tak kasat mata dari luar tetapi begitu
indahnya jika sudah berada di dalam.
Tanpa guru,
“penerobosan” itu menjadi kerja yang yaris musykil, sebab orang memang tak bisa
“mengoperasi” dirinya, kecuali jika ingin gunting operasi menyayat
bagain-bagian penting yang bisa membikin sekarat. Itulah sebabnya, Rumi, pernah
menulis salah satu parafrasenya yang termayhur: “Siapa yang bepergian tanpa
pemandu, niscaya memerlukan dua ratus tahun untuk perjalan sehari dua hari.”
Seorang
guru sufi tak akan pernah mengajak muridnya langsung pada momen-momen krusial
penyatuan, selain karena itu tidaklah mungkin, hal itu juga bisa berakibat
fatal pada keselamatan fisik dan spiritual muridnya.Seorang yang baru mulai
berlatih diri di jalan sufisme ibarat orang yang sepanjang hayatnya hidup dalam
sebuah ruangan yang gelap, pengap dan tanpa cahaya. Membiarkan atau mendadak
mengajak seorang murid hanya dalam hitungan detik ke luar ruangan yang gelap
itu, menuju tempat di mana matahari sedang terang benderang memanggang bumi,
tidak hanya akan membuat sang murid kaget, tetapi bisa membuat mata murid itu
menjadi buta seketika.
Karenanya
dibutuhkan sejumlah penggemblengan. Dan itu dilakukan bertahap, pelan tapi
pasti. Selain untuk melatih kesabaran, keikhlasan, dan tekad kuat,
penggemblengan itu juga diperlukan untuk secara bertahap menanggalkan kedirian
dan egoisme sang murid. Jika kedirian dan ego itu masih kuat melekat, itu
berarti kehidupan dunia dengan segala jebakan hasrat masih belum sepenuhnya
enyah dari hati dan dari kesadaran sang murid.
Guru adalah
orang yang pelahan-lahan mengelupaskan ego dan kedirian itu. Dalam kata-kata
seorang guru Naqsyabandiah, “Seorang guru sufi bertugas membuka kulit kebodohan
yang menutupi diri sang murid. Sang guru hanya membersihkan karat-karat yang
telah menutupi sumber cahaya yang terdapat dalam hati sang murid. Guru sufi tak
memberi apa pun; ia hanya melepaskan sesuatu.”
Dalam jalan
sufi, jangan berpikir bahwa tujuan bisa dicapai tanpa seorang guru. Menempuh
jalan sendirian sangalag beresiko karena sekali kehilangan jejak, ancamannya
adalah tersesat. Karena jalan sufi adalah tetap jalan yang bercabang-cabang,
penuh kelok dan jebakan, seorang guru menjadi perlu karena ia bisa menjadi
pemandu yang mengetahui jalan mana yang mesti ditempuh, karena sang guru adalah
orang yang pernah melalui jalan itu sebelumnya.
Fokus
sepenuhnya pada sosok sang guru tetap menjadi mutlak betapa pun sang guru tak
ada di hadapan mata secara fisik. Johan Ter Haar, sewaktu meneliti hubungan
guru-murid dalam tarekat Naqsyabandiah, menemukan istilah rabitah dalam
vokabulari tarekat itu. Istilah itu merujuk pada laku seorang murid yang secara
terus menerus bertatap muka dengan sang guru dalam pikirannya. Itu dilakukan
tidak hanya agar dia bisa mencapai derajat kepatuhan yang total pada sang guru tetapi
yang jauh lebih penting adalah agar sang murid tetap merasa kalau dirinya
sedang merasa bersama gurunya.
Jika murid
bisa terus memelihara laku itu secara konstan dan khidmat, ia akan sampai pada
tahap di mana ia akan selau merasa dekat secara batin dengan gurunya yang
secara fisik tak ada di samping atau di hadapannya dengan cara menyebut terus
menerus, dengan berulang- ulang, penaka sedang berzikir, nama sang guru.
Itulah
sebabnya silsilah para guru/mursyid dalam sebuah tarekat menjadi persoalan yang
krusial. Silsilah para guru itu memiliki makna simbolis yang sangat penting
karena silsilah itu memberikan semacam saluran menuju otoritas yang tertinggi,
Sang Maha Puncak, lewat medium tradisi horizontal. Sedemikian pentingnya
silsilah itu sehingga dalam sejumlah tarekat penulisan silsilah dan nama-nama
leluhur guru mereka menjadi ritual yang punya kapasitas menjadi aktivitas yang
sakral; menjadi semacam latihan spiritual.
Muhammad
Taqi Ali Qalandar Kakorawi, seorang sufi dari India yang hidup pada abad 18,
pernah memberi tuntunan atau cara teknis mengingat guru lewat melafalkan nama
sang guru.
Katanya,
“Seorang murid, setelah mendapatkan nama-nama mursyid sebelum mursyidnya
sendiri (berarti eyang gurunya) dalam sebuah tarekat yang dia ikuti, perlu
menghafalnya hingga kepada Nabi Muhammad. Ini adalah salah satu syarat yang
mesti dipenuhi oleh pencari di jalan ini….Jika dia tidak berhasil menghadirkan
hati dalam meditasinya dengan baik, maka yang pertama-tama harus diingatnya
adalah mursyid-nya. Jika dia masih belum berhasil juga, dia harus mengingat
guru dari gurunya. Demikian seterusnya, hingga jika perlu sampai kepada Nabi
Muhammad.”
Dalam
tradisi sufi, seperti yang sudah saya contohkan di atas, ketidakhadiran sang
guru secara fisik sama sekali bukanlah alasan untuk melupakan dan tak
mengingat-ingat gurunya. Sejumlah tarekat sufi bahkan meyakini bahwa penahbisan
seseorang menjadi orang suci akan makin sempurna jika ia dibai’at seorang
mursyid yang secara fisik sudah tak ada alias sudah meninggal.
Tareqat
Naqsyabandiah dikenal sebagai salah satu tarekat yang punya kedekatan dengan
tradisi pembai’atan oleh guru yang sudah meninggal. Tarekat ini punya
istilahnya sendiri untuk menyebut fenomena pembai’atan secara gaib itu lewat
kata “uwaysi” yang berarti pembaiatan yang tidak hanya dilakukan oleh guru yang
masih hidup melainkan juga oleh guru yang sudah wafat atau bahkan oleh Nabi
Khdir langsung.
Menurut
Khwaja Muhammad, murid Baha al-Din Naqsyabandi, banyak syaikh Naqsyabandi turut
serta uwaysi. Istilah uwaysi, lanjutnya, menunjuk pada para wali Allah yang
secara lahir tidak memerlukan guru secara fisik, karena Nabi Muhammad
menghargai mereka yang menjadikan bilik pribadinya tempat penempaan spiritual,
tanpa melalui perantara dari siapa pun.
Tetapi
pengertian uwaysi yang merujuk pada, salah satunya, pembaiatan oleh Muhammad
langsung sedikit sekali bisa dibenarkan, karena jika pun ada kasus seperti itu,
orang percaya itu hanya menimpa segelintir orang saja. Menurut Abdurrahman
Jami, contoh pembaiatan langsung oleh Muhammad, Sang Maha Guru Sufi, dialami
oleh Jalaluddin Abu Yazid Purani (wafat 1457/58). Syaikh Ahmad Sirhindi juga
pernah mengaku dibaiat langsung oleh Muhammad.
Karena
saking jarangnya, maka istilah uwaysi biasanya hanya merujuk pada pembaitan
yang dilakukan oleh syaikh/mursyid/guru yang sudah wafat. Dalam periode sejarah
awal Nqasyabandiah, pembaiatan oleh guru yang sudah mendiang dipercaya dialami
oleh Abu Yazid al-Bustami (wafat 875 M) yang dipercaya dibaiat oleh Ja’far
as-Shadiq (wafat 1029 M) dan juga dialami oleh Abu al-Hasan Kharaqani yang
dibaiat oleh mendiang al-Bustami.Tipe pembaiatan seperti ini jelas menjadi
faktor yang menentukan Naqsyabandiah dan karena itu bisa menjelaskan bagaimana
aspek-aspek sentral identitas itu diperkenalkan.
Baha al-Din
Naqsyabandi juga menjadi orang yang mengelaborasi gagasan tentang pembelajaran
spiritual itu ke dalam praktik kehidupan sufi. Seperti yang diulas oleh Ter Haar,
Baha al-Din Naqsyabandi menyebut “kehadiran spiritual” seorang guru sebagai
kekuatan yang dapat dicapai seorang sufi. Dia mendefinisikan konsentrasi
(tawajjuh) dalam “kehadiran spiritual” mendiang guru sebagai maqam, yaitu
sebuah tahap perjalanan mistik yang dapat diperoleh seorang salik (penempuh
jalan mistik) lewat ikhtiarnya sendiri.
0 komentar :
Posting Komentar