Dalam
konteks ini, Al-Quran mengingatkan manusia, "Katakanlah (hai
Muhammad kepada yang mempersekutukan Tuhan), 'Jelaskanlah kepadaku jika datang
siksaan Allah kepadamu, atau datang hari kiamat, apakah kamu menyeru (tuhan)
selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar?' Tidak! Tetapi hanya kepada-Nya
kamu bermohon, maka Dia menyisihkan bahaya yang karenanya kamu berdoa
kepada-Nya, jika Dia menghendaki, dan kamu tinggalkan sembahan-sembahan yang
kamu sekutukan (dengan Allah)" (QS Al-An'am [6]: 40-41).
"Dialah
Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, dan (berlayar) di lautan.
Sehingga bila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa
para penumpangnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira
karenanya: (kemudian) datanglah angin badai dan apabila gelombang dari segenap
penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya),
maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya
semata-mata. (Mereka berkata) 'Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari
bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur'" (QS
Yunus [10]: 22).
Demikian
Al-Quran menggambarkan hati manusia. Karena itu sungguh tepat pandangan
sementara filosof yang menyatakan bahwa manusia dapat dipastikan akan terus
mengenal dari berhubungan dengan Tuhan sampai akhir zaman, walaupun ilmu
pengetahuan membuktikan lawan dari hal tersebut. Ini selama tabiat kemanusiaan
masih sama seperti sediakala, yakni memiliki naluri mengharap, cemas, dan
takut, karena kepada siapa lagi jiwanya akan mengarah jika rasa takut atau
harapannya tidak lagi dapat dipenuhi oleh makhluk, sedangkan harapan dan rasa
takut manusia tidak pernah akan putus.
DALIL-DALIL
LOGIKA
Bertebaran
(ayat-ayat yang menguraikan dalil-dalil aqliah tentang Keesaan Tuhan- Misalnya,
"Bagaimana Dia mempunyai anak, padahal Dia tidak mempunyai istri.
Dia yang menciptakan segala sesuatu, dan Dia mengetahui segala sesuatu"
(QS Al-An'am [6]: 101) "Seandainya pada keduanya (langit dan bumi)
ada dua Tuhan, maka pastilah keduanya binasa" (QS Al-Anbiya' [21]: 22)
Maksud ayat ini adalah "seandainya ada dua pencipta, maka akan
kacau ciptaan, karena jika masing-masing Pencipta menghendaki sesuatu yang
tidak dikehendaki oleh yang lain, maka kalau keduanya berkuasa, ciptaan pun
akan kacau atau tidak akan mewujud; kalau salah satu mengalahkan yang lain,
maka yang kalah bukan Tuhan; dan apabila mereka berdua bersepakat, maka itu
merupakan bukti kebutuhan dan kelemahan mereka, sehingga keduanya bukan Tuhan,
karena Tuhan tidak mungkin membutuhkan sesuatu atau lemah atas sesuatu."
Pengalaman ruhani pun disebutkan oleh Al-Quran yaitu pengalaman para
Nabi dan Rasul. Misalnya pengalaman Nabi Musa a.s. (Baca QS Thaha [20]: 9-47).
Demikian juga pengalaman Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad Saw., serta nabi-nabi yang
lain dengan berbagai rinciannya yang berbeda, namun semuanya bermuara pada
tauhid atau Keesaan Tuhan. Di samping mengemukakan dalil-dalil di atas,
Al-Quran juga mengajak mereka yang mempersekutukan Tuhan untuk memaparkan
hujjah mereka "Apakah mereka mengambil tuhan-tuhan selain-Nya?
Katakanlah, 'Kemukakan bukti kalian!'" (QS Al-Anbiya' [21]: 24).
"Katakanlah, 'Jelaskanlah kepadaku tentang apa yang kamu sembah selain
Allah; perlihatkan kepada-Ku apakah yang telah mereka ciptakan dan bumi ini,
atau adakah mereka berserikat (dengan Allah) dalam (penciptaan) langit. Bawalah
kepadaku kitab sebelum (Al-Quran) ini, atau peninggalan dan pengetahuan
(orang-orang dahulu) jika kamu adalah orang-orang yang benar'" (QS
Al-Ahqaf [46]: 4)
MACAM-MACAM
KEESAAN
Berbicara
tentang macam-macam keesaan Allah mengantarkan kita untuk memahami paling tidak
surat Al-Ikhlas, sedikitnya tentang ayatnya yang pertama,
"Katakanlah! Dia Allah Yang Maha Esa." Abu As-Su'ud, salah
seorang pakar tafsir dan tasawuf menulis dalam tafsirnya, bahwa Al-Quran
menempatkan kata huwa untuk menunjuk kepada Allah, padahal sebelumnya tidak
pernah disebut dalam susunan redaksi ayat ini kata yang menunjuk kepada-Nya.
Ini, menurutnya, untuk memberi kesan bahwa Dia Yang Mahakuasa itu, sedemikian
terkenal dan nyata, sehingga hadir dalam benak setiap orang dan hanya
kepada-Nya selalu tertuju segala isyarat. Ahad yang diterjemahkan dengan
kata Esa terambil dari akar kata wahdat yang berarti "kesatuan,"
seperti juga kata wahid yang berarti "satu." Kata ini sekali
berkedudukan sebagai nama, dan sekali sebagai sifat bagi sesuatu. Apabila ia
berkedudukan sebagai sifat, maka ia hanya digunakan untuk Allah Swt. semata.
Dalam ayat di atas, kata Ahad berfungsi sebagai sifat Allah Swt., dalam
arti bahwa Allah memiliki sifat-sifat tersendiri yang tidak dimiliki oleh
selain-Nya. Dari segi bahasa, kata Ahad walaupun berakar sama dengan
Wahid, tetapi masing-masing memiliki makna dan penggunaan tersendiri. Kata Ahad
hanya digunakan untuk sesuatu yang tidak dapat menerima penambahan baik dalam
benak apalagi dalam kenyataan, karena itu kata ini -ketika berfungsi sebagai
sifat- tidak termasuk dalam rentetan bilangan, berbeda halnya dengan wahid
(satu); Anda dapat menambahnya sehingga menjadi dua, tiga, dan seterusnya, walaupun
penambahan itu hanya dalam benak pengucap atau pendengarnya. Berbicara
tentang angka -dalam kaitannya dengan bahasan tauhid- agaknya menarik untuk
dihayati bahwa kata "Ahad" terulang di dalam Al-Quran sebanyak 85
kali, namun hanya sekali yang menjadi sifat Tuhan yakni firman-Nya dalam surat
Al-Ikhlas, "Qul Huwa Allahu Ahad." Seakan-akan Allah bermaksud untuk
menekankan keyakinan tauhid, bukan saja dalam maknanya, tetapi juga dalam
bilangan pengulangan lafalnya, serta kandungan lafal itu. Ini menggambarkan
kemurnian mutlak dalam keesaan. Bukankah kata Wahid yang berarti
"satu," dapat berbilang unsurnya, berbeda dengan kata Ahad yang
mutlak tidak berbilang, walau hanya sekadar unsurnya? Benar! Allah
terkadang juga disifati dengan kata Wahid seperti antara lain dalam firman-Nya:
"Tuhan-Mu adalah Tuhan yang Wahid, tiada Tuhan selain Dia, Dia Yang
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang" (QS Al-Baqarah [2]: 163)
Sementara ulama berpendapat bahwa kata Wahid dalam ayat di atas, menunjuk
kepada keesaan Zat-Nya disertai dengan keragaman sifat-sifat-Nya, bukankah Dia
Maha Pengasih, Maha Penyayang, Mahakuat, Maha Mengetahui, dan sebagainya,
sedangkan kata Ahad dalam surat Al-Ikhlas itu, mengacu kepada keesaan Zat-Nya
saja, tanpa memperlihatkan keragaman sifat-sifat tersebut. Terlepas dari
setutu atau tidak dengan pembedaan terakhir ini, namun yang jelas bahwa Allah
Maha Esa, dan Keesaan-Nya itu mencakup empat macam keesaan
1.
Keesaan Zat
2.
Keesaan Sifat
3.
Keesaan Perbuatan,
dan 4.
Keesaan dalam beribadah kepada-Nya.
1.
KEESAAN ZAT-NYA Keesaan Zat mengandung pengertian bahwa seseorang harus
percaya bahwa Allah Swt. tidak terdiri dari unsur-unsur, atau bagian-bagian,
karena bila Zat Yang Mahakuasa itu terdiri dari dua unsur atau lebih -betapapun
kecilnya unsur atau bagian itu- maka ini berarti Dia membutuhkan unsur atau
bagian itu. Atau dengan kata lain unsur atau bagian itu merupakan syarat bagi
wujud-Nya. Ambil sebagai contoh sebuah jam tangan. Anda menemukan jam tersebut terdiri
dari beberapa bagian, ada jarum yang menunjuk angka, ada logam, ada karet, dan
lain-lain. Bagian-bagian tersebut dibutuhkan oleh sebuah jam tangan, karena
tanpa bagian itu, ia tidak dapat menjadi jam tangan. Nah, ketika itu, walaupun
jam tangan ini hanya satu, tetapi ia tidak esa, karena ia terdiri dari
bagian-bagian tersebut. Jika demikian, Zat Tuhan pasti tidak terdiri dari unsur
atau bagian-bagian betapapun kecilnya, karena jika demikian, Dia tidak lagi
menjadi Tuhan. Benak kita tidak dapat membayangkan Tuhan membutuhkan sesuatu
dan Al-Quran pun menegaskan demikian: "Wahai seluruh manusia
kamulah yang butuh kepada Allah dan Allah Mahakaya tidak membutuhkan sesuatu
lagi Maha Terpuji" (QS Fathir [35]: 15). Setiap penganut paham
tauhid berkeyakinan bahwa Allah adalah sumber segala sesuatu dan Dia sendiri
tidak bersumber dari sesuatu pun. Al-Quran menegaskan bahwa, "Tidak
ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha
Melihat" (QS Al-Syura [42]: 11) Perhatikan redaksi ayat di atas,
"Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya." Yang serupa dengan-Nya
pun tidak ada, apalagi yang seperti Dia. lebih-lebih yang sama dengan-Nya.
Karena itu, jangankan secara faktual di dunia nyata ada yang seperti
dengan-Nya, yang secara imajinatif pun tidak ada yang serupa dengan-Nya.
Keragaman dan bilangan lebih dari satu adalah substansi setiap makhluk, bukan
ciri Khaliq. Itulah sebagian makna Keesaan dalam Zat-Nya.
2.
KEESAAN SIFAT-NYA Adapun keesaan sifat-Nya, maka itu antara lain berarti
bahwa Allah memiliki sifat yang tidak sama dalam substansi dan kapasitasnya
dengan sifat makhluk, walaupun dari segi bahasa kata yang digunakan untuk
menunjuk sifat tersebut sama. Sebagai contoh, kata Rahim merupakan sifat bagi
Allah, tetapi juga digunakan untuk menunjuk rahmat atau kasih sayang makhluk.
Namun substansi dan kapasitas rahmat dan kasih sayang Allah berbeda dengan
rahmat makhluk-Nya. Allah Esa dalam sifat-Nya, sehingga tidak ada yang
menyamai substansi dan kapasitas sifat tersebut. Sementara ulama
memahami lebih jauh keesaan sifat-Nya itu, dalam arti bahwa Zat-Nya sendiri
merupakan sifat-Nya. Demikian mereka memahami keesaan secara amat murni. Mereka
menolak adanya "sifat" bagi Allah, walaupun mereka tetap yakin dan
percaya bahwa Allah Maha Mengetahui, Maha Pengampun, Maha Penyantun, dan
lain-lain yang secara umum dikenal ada sembilan puluh sembilan. Mereka yakin
tentang hal tersebut, tetapi mereka menolak menamainya sifat-sifat. Lebih jauh
penganut paham ini berpendapat bahwa "sifat-Nya" merupakan satu
kesatuan, sehingga kalau dengan tauhid Zat, dinafikan segala unsur
keterbilangan pada Zat-Nya, betapapun kecilnya unsur itu, maka dengan tauhid
sifat dinafikan segala macam dan bentuk ketersusunan dan keterbilangan bagi
sifat-sifat Allah. Berapa jumlah sifat Allah itu? Yang populer menurut sebuah
hadis ada 99 sifat. Tetapi Muhammad Husain Ath-Thabathaba'i, setelah menelusuri
ayat-ayat Al-Quran, menyimpulkan bahwa ada 127 nama atau sifat Allah yang
ditemukan dalam Al-Quran, kesemuanya merupakan Al-Asma', Al-Husna. Rincian
sifat/nama-nama itu dikemukakannya dalam Tafsirnya Al-Mizan ketika menafsirkan
QS Al-A'raf [7]: 180.
3.
KEESAAN PERBUATAN-NYA Keesaan ini mengandung arti bahwa segala sesuatu
yang berada di alam raya ini, baik sistem kerjanya maupun sebab dan wujud-Nya,
kesemuanya adalah hasil perbuatan Allah semata. Apa yang dikehendaki-Nya
terJadi, dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi, tidak ada daya
(untuk memperoleh manfaat), tidak pula kekuatan (untuk menolak madarat),
kecuali bersumber dari Allah Swt., itulah makna: [tulisan Arab]
Tetapi ini bukan berarti bahwa Allah Swt. berlaku sewenang-wenang, atau
"bekerJa" tanpa sistem yang ditetapkanNya. Keesaan perbuatan-Nya
dikaitkan dengan hukum-hukum, atau takdir dan sunnatullah yang ditetapkan-Nya.
Dalam mewujudkan kehendak-Nya Dia tidak membutuhkan apa pun.
"Sesungguhnya keadaan-Nya bila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata,
'Jadilah!' Maka jadilah ia" (QS Ya Sin [36]: 82) Tetapi ini bukan
juga berarti bahwa Allah membutuhkan kata "jadilah;" ayat ini hanya
bermaksud menggambarkan bahwa pada hakikatnya dalam mewujudkan sesuatu Dia
tidak membutuhkan apa pun. Ayat ini juga tidak berarti bahwa segala sesuatu
yang diciptakan-Nya tercipta dalam sekejap, tanpa proses, sesuai dengan
kehendak-Nya. Bukankah Isa a.s. dinyatakan-Nya sebagai tercipta dengan kun.
"Sesungguhnya keadaan (penciptaan) Isa di sisi Allah adalah seperti
Adam, diciptakan dari tanah kemudian Dia katakan kepadanya kun (jadilah), maka jadilah
dia" (9S Ali 'Imran [3]: 59). Pada ayat lain, Al-Quran
menggambarkan proses kejadian Isa, yang dimulai dengan kehadiran malaikat
kepada Maryam, kehamilannya, sakit perut menjelang kelahiran, dan akhirnya
lahir (Baca QS Maryam [19]: 16-26). Sekali lagi, kata kun bukan berarti
bahwa segala sesuatu yang dikehendaki-Nya terjadi serta-merta tanpa suatu
proses.
4.
KEESAAN DALAM BERIBADAH KEPADA-NYA Kalau ketiga keesaan di atas
merupakan hal-hal yang harus diketahui dan diyakini, maka keesaan keempat ini
merupakan perwujudan dari ketiga makna keesaan terdahulu. Ibadah itu
beraneka ragam dan bertingkat-tingkat. Salah satu ragamnya yang paling jelas,
adalah amalan tertentu yang ditetapkan cara dan atau kadarnya langsung oleh
Allah atau melalui Rasul-Nya, dan yang secara populer dikenal dengan istilah
ibadah mahdhah. Sedangkan ibadah dalam pengertiannya yang umum, mencakup segala
macam aktivitas yang dilakukan demi karena Allah. Nah, mengesakan Tuhan
dalam beribadah, menuntut manusia untuk melaksanakan segala sesuatu demi karena
Allah, baik sesuatu itu dalam bentuk ibadah mahdhah (murni), maupun selainnya.
Walhasil, keesaan Allah dalam beribadah kepada-Nya adalah dengan melaksanakan
apa yang tergambar dalam firman-Nya, "Katakanlah, 'Sesungguhnya
shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku, (seterusnya) karena Allah, Pemelihara
seluruh alam'" (QS Al-An'am [6]: 162).
ALLAH
DALAM KEHIDUPAN MANUSIA
Salah
satu ayat yang menggambarkan dampak kehadiran Allah dalam jiwa manusia adalah
firman-Nya, "Allah membuat perumpamaan, (yaitu) seorang lelaki
(budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat dan saling berselisih
(buruk perangai mereka), dengan seorang budak yang menjadi milik penuh dari
seorang saja. Adakah keduanya (budak-budak itu) sama halnya? Segala puji bagi
Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui (QS Al-Zumar [39]: 29).
Ayat
ini bermaksud menggambarkan bagaimana keadaan seseorang yang harus taat kepada
sekian banyak orang yang memilikinya, tetapi pemilik-pemiliknya itu saling
berselisih dan buruk perangainya. Alangkah bingung ia. Yang ini memerintahkan
satu hal, belum lagi selesai datang yang lain mencegah atau memerintahkannya
dengan perintah lain, yang ketiga pun demikian. Begitu seterusnya, sehingga
pada akhirnya budak itu hidup dalam kompleks kejiwaan yang tidak diketahui
bagaimana cara menanggulanginya. Bandingkanlah hal itu dengan seorang budak
lain yang hanya menjadi milik penuh seseorang sehingga ia tidak mengalami
kebingungan atau kontradiksi dalam kesehariannya.
Menarik
dikemukakan alasan Murtadha Muthahhari yang juga memahami sebagaimana
ulama-ulama lain -arti kata rajulan pada ayat di atas dengan "budak."
Ulama tersebut menulis dalam bukunya Allah dalam Kehidupan Manusia bahwa:
Sementara orang ada yang membuat kemungkinan berikut, yakni bahwa manusia
berkeinginan untuk hidup bebas (tanpa kendali). Sesungguhnya keinginan ini
(walaupun merupakan sesuatu yang mustahil) menjadikan manusia keluar dari
kemanusiaannya, karena ini berarti bahwa ketika itu dia tidak mengakui adanya
hukum, tujuan, keinginan atau ide -dalam arti dia kosong sama sekali dari
keyakinan tertentu, dan keadaan demikian mencabutnya dari hakikat kemanusiaan.
Keadaan semacam ini tidak ada wujudnya dalam kehidupan manusia di dunia.
Orang-orang yang menghendaki kehidupan sebebas mungkin, serta tidak mengakui
adanya sedikit peraturan pun, pasti hidup mereka pun dilandasi oleh keyakinan
(ide tertentu) atau berusaha mencari ide/keyakinan tertentu. Usaha ini
menunjukkan bahwa manusia harus menerima wewenang pengaturan dari keyakinan
(ide yang ada dalam benaknya). Jika demikian, tidak heran jika Al-Quran
menggunakan istilah-istilah yang mengandung arti budak (seseorang yang dimiliki
oleh pihak lain).
Keadaan
yang digambarkan oleh ayat di atas, terbukti kebenarannya dalam kenyataan hidup
orang-orang yang lemah imannya, atau memiliki sekian banyak ide atau keyakinan
yang saling bertentangan. Sekali dia taat kepada Tuhan, lain kali dia taat
kepada setan, sekali dia ke masjid, lain kali ke klub malam. Orang semacam ini
dikuasai atau menjadi budak sekian penguasa yang buruk perangainya sehingga
pada akhimya ia mengidap kepribadian ganda (split personality), yang merupakan
salah satu bentuk dari sekian banyak bentuk penyakit kejiwaan. Kalau demikian
wajar jika Al-Quran menegaskan bahwa, "Orang-orang yang beriman dan
hati mereka tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat
Allah hati menjadi tenteram" (QS Al-Ra'd [13]: 28). Kalau dalam
ayat lain Al-Quran menegaskan bahwa seandainya pada keduanya (langit dan bumi)
terdapat banyak Tuhan (Pengusa yang mengatur alam) selain Allah, maka pastilah
keduanya akan binasa (QS Al-Anbiya, [21]: 22), maka dalam QS Al-Zumar [39]: 29
di atas, Allah berpesan bahwa seandainya di dalam jiwa seseorang ada banyak
tuhan atau penguasa yang mengatur hidupnya, maka pasti pula jiwanya akan rusak
binasa.
Kalau
uraian di atas membuktikan kebutuhan jiwa manusia kepada akidah tauhid, maka
rangkaian pertanyaan berikut dapat menjadi salah satu bukti tentang kebutuhan
akalnya terhadap akidah ini. Pertanyaan dimaksud adalah: "Siapa yang
menjamin bila Anda melontar ke depan, maka batu itu tidak mengarah ke belakang?
Apa yang menjamin bahwa air selalu mencari tempat yang rendah? Apa yang
mengantar ilmuwan untuk memperoleh semacam, kepastian, dalam
langkah-langkahnya?" Kepastian tersebut tidak mungkin dapat diperoleh
kecuali melalui keyakinan tentang wujud Tuhan Yang Maha Esa. Karena jika Tuhan
berbilang, maka sekali tuhan ini yang mengatur alam dan menetapkan kehendak-Nya
dan kali lain tuhan yang itu. Apa yang menjamin kepastian itu, seandainya Tuhan
Yang mengatur hukum-hukum dan tata kerta alam raya, juga butuh kepada sesuatu?
Sudah dapat dipastikan tidak ada yang dapat menjamin! Jika demikian,
tauhid bukan saja merupakan hakikat kebenaran yang harus diakui karena
diperlukan oleh jiwa manusia, tetapi juga merupakan kebutuhan akalnya demi
kemajuan dan kesejahteraan umat manusia. Wajar jika perkembangan pemikiran
manusia tentang Tuhan, berakhir pada monoteisme murni, setelah pada awalnya
menganut keyakinan politeisme (banyak tuhan), kemudian dua tuhan, disusul
dengan kepercayaan tentang adanya satu Tuhan. dan berakhir dengan tauhid murni
(keesaan mutlak) yang dianut oleh umat Islam. Apabila seseorang telah
menganut akidah tauhid dalam pengertian yang sebenarnya, maka akan lahir dari
dirinya berbagai aktivitas, yang kesemuanya merupakan ibadah kepada Allah, baik
ibadah dalam pengertiannya yang sempit (ibadah murni) maupun pengertiannya yang
luas. Ini disebabkan karena akidah tauhid merupakan satu prinsip lengkap yang
menembus semua dimensi dan aksi manusia. Karena itu, "Allah tidak
mengampuni siapa yang mempersekutukan-Nya dengan sesuatu, dan dapat mengampuni
selain itu bagi siapa yang Dia kehendaki (QS Al-Nisa, [4]: 48).
Kalau
dalam alam raya ini ada matahari yang menjadi sumber kehidupan makhluk di
permukaan bumi ini, dan yang berkeliling padanya planet-planet tata surya yang
tidak dapat melepaskan diri darinya, maka akidah tauhid merupakan matahari
kehidupan ruhani dan yang berkeliling di sekitarnya kesatuan-kesatuan yang
tidak dapat pula melepaskan diri atau dilepaskan darinya. Kesatuan dimaksud
antara lain adalah kesatuan alam semesta, kesatuan kehidupan dunia dan akhirat,
kesatuan natural dan supranatural, kesatuan ilmu, kesatuan agama, kesatuan
kemanusiaan, kesatuan umat, kesatuan kepribadian manusia, dan lain-lain.
Prinsip lengkap ini harus terus-menerus dipelihara, diasah, dan diasuh. Memang
boleh jadi seorang Muslim mengalami godaan sehingga timbul tanda tanya
menyangkut kehadiran Allah Yang Maha Esa itu. Yang demikian adalah wajar-wajar
saja, asal ia selalu berupaya untuk mengusir godaan itu. Hal ini dialami juga
oleh para sahabat Nabi Saw. Mereka yang mengadukan pengalamannya kepada beliau
ditanggapi oleh Nabi Saw. dengan bersabda, "Segala puji bagi Allah
yang menangkal tipuannya (setan) menjadi waswasah (bisikan)."
Sahabat Nabi, Ibnu Abbas, pernah ditanya oleh Abu Zamil Sammak ibn Al-Walid,
"Apakah yang saya rasakan di dalam dadaku (ini)?" "Apakah itu,"
tanya Ibnu Abbas. "Demi Allah saya tidak akan mengatakannya." Ibnu
Abbas bertanya balik, "Apakah semacam syak atau keraguan?" Si penanya
mengiyakan. Ibnu Abbas kemudian berkata, "Tidak seorang pun (dari kami)
yang terbebaskan dari yang demikian, sampai turun firman Allah:
"Apabila kamu dalam keraguan dari apa yang Kami turunkan kepadamu, maka
tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu" (QS Yunus
[10]: 94). Apabila engkau mendapatkan hal itu bacalah, Dia yang Awal,
Dia Yang Akhir, Dia Yang Zhahir (tampak melalui ciptaan-Nya), Dia juga Yang
Batin (tak tampak hakikat Zat-Nya), dan Dia. Maha Mengetahui segala
sesuatu." Demikian Allah Swt. Karena itu wajar kita bermohon:
"Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong
kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, karuniakanlah kepada
kami rahmat dari sisi-Mu. Sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi anugerah"
(QS Ali 'Imran 13]: 8).[]
Catatan
kaki: -------------
1 Wahyu
pertama adalah lima ayat pertama surat Al-'Alaq. Di sana tidak ada kata
"Allah.". Wahyu kedua adalah beberapa ayat dari surat Al-Qalam. dalam
surat ini tidak disebut kata "Allah." Wahyu ketiga adalah awal surat
Al-Muzammil. Dalam surat ini kata Rabbika ditemukan dua kali, dan kata
"Allah" tujuh kali, yaitu pada ayat terakhir (kedua puluh). Dapat
dipastikan bahwa ayat terakhir tersebut turun setelah Nabi hijrah ke Madinah,
karena ayat tersebut berbicara tentang keterlibatan para sahabat dalam
peperangan, sedangkan peperangan pertama baru terjadi pada tahun kedua Hijriah.
Wahyu keempat adalah awal suratAl-Muddatstsir (tujuh ayat pertama).
Dalam tujuh ayat pertama tersebut kata pengganti Tuhan Yang Maha Esa adalah
"Rabbika" yang disebut sebanyak dua kali. Benar bahwa dalam surat
tersebut ditemukan kata "Allah" sebanyak empat kali, tetapi
ayat-ayatnya bukan merupakan rangkaian wahyu-wahyu pertama. Wahyu kelima
adalah surat Al-Lahab (Tabbat) . Dalam surat ini tidak ditemukan kata apa pun
yang menunjukkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Wahyu keenam adalah surat
At-Takwir. Pada ayat terakhir (ke-29) surat ini, ditemukan kata dengan predikat
Rabbul 'Alamin, namun seperti yang diriwayatkan oleh banyak ulama, ayat itu
turun terpisah dari ayat-ayat sebelumnya. Wahyu ketujuh adalah surat
"Sabbihisma." Dalam surat ini disebutkan kata-kata
"Rabbuka," "Allah," dan "Rabbihi" masing-masing
sekali. Di sõnilah kata "Allah" disebutkan untuk pertama kalinya
dalam rangkaian wahyu-wahyu Al-Quran. Namun perlu digarisbawahi bahwa surat ini
justru menjelaskan sifat-sifat Allah Yang Mahasuci, serta perbuatan-
perbuatan-Nya. Wahyu kedelapan adalah Alam Nasyrah, wahyu kesembilan
Al-Ashr, wahyu kesepuluh Al-Fajr, wahyu kesebelas Adh-Dhuha, wahyu kedua belas
Al-Lail, wahyu ketiga belas Al-'Adiyat, wahyu keempat belas Al-Kautsar, wahyu
kelima belas At-Takwir, wahyu keenam belas At-Takatsur, wahyu ketujuh belas
Al-Ma'un, wahyu kedelapan belas Al-Fil. Dalam Wahyu kedelapan hingga
kedelapan belas tersebut di atas, tidak terdapat kata "Allah." Nanti
pada wahyu kesembilan belas yaitu, Qul Huwa Allahu Ahad, barulah kata Allah
dijelaskan secara rinci, sebagai jawaban terhadap kaum musyrik yang
mempertanyakan tentang Tuhan yang disembah oleh Nabi Muhammad Saw.
mhn
koreksinya jika salah...
(Sumber ; Dokumen no.001 di Grup Facebook Pemuda TQN Suryalaya)
0 komentar :
Posting Komentar