Salah seorang ulama Indonesia paling berpengaruh sepanjang abad 19, yang juga pendiri tarekat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah (TQN) yang tersebar luas di Nusantara, terutama di Jawa. Beliau juga dikenal sebagai cendekiawan ulung terutama di bidang ilmu agama, seperti Qur’an, hadits, fiqih, kalam, dan, tentu saja, tasawuf. Walau amat terkenal, namun tidak banyak yang diketahui tentang ulama tersohor ini. Beliau lahir di Sambas, Kalimantan Barat, pada tahun 1805 M (1217 H). Setelah menyelesaikan pendidikan agama tingkat dasar, beliau pergi ke Mekah pada umur 19 tahun untuk memperdalam ilmu, dan beliau menetap di sana hingga akhir hayatnya, yakni saat beliau wafat pada 1872 M (1289 H). Di antara para gurunya adalah Syekh Daud ibn Abd Allah ibn Idris al-Fatani, seorang alim besar dan mursyid tarekat Syattariyah. Syekh al-Fatani inilah yang memperkenalkan Syekh Ahmad Khatib kepada Syekh Syams al-Din, seorang mursyid dari Tarekat Qadiriyyah. Peristiwa agak aneh dan menimbulkan tanda tanya, yakni mengapa Syekh Ahmad Khatib Sambas tidak ikut pada tarekat guru pertamanya itu, padahal pada waktu itu Tarekat Syattariyyah bisa dikatakan cukup dominan dalam penyebarannya hingga akhir abad 19.
Syekh
Syams al-Din ini amat mempengaruhi kehidupan Syekh Ahmad Khatib Sambas, dan
Syekh Ahmad Khatib menjadi muridnya yang terbaik. Kelak Syekh Ahmad Khatib
inilah yang menggantikan posisi gurunya sebagai mursyid Tarekat Qadiriyyah.
Tetapi tidak diketahui dengan pasti dari siapa Syekh Ahmad Khatib Sambas
menerima ijazah Tarekat Naqsyabandiyyah. Guru-guru lainnya diantaranya adalah
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (mursyid Tarekat Sammaniyah), Syekh Bisyri
al-Jabarti, Sayyid Ahmad al-Marzuqi, Sayyid Abd Allah ibn Muhammad al-Mirghani
dan Utsman ibn Hasan al-Dimyati. Syekh Ahmad Khatib Sambas adalah mursyid dari
dua tarekat, meskipun kemudian dia tidak mengajarkannya secara terpisah,
melainkan dikombinasikan. Kombinasi ini bisa dianggap sebagai bentuk tarekat
baru yang berbeda dari dua tarekat sumbernya. Karenanya di Indonesia beliau
dikenal sebagai pendiri Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah.
Penyebaran
tarekat ini juga dibantu oleh tersebar luasnya kitab karangan beliau, Fath
al-Arifin, salah satu karya paling populer untuk praktik sufi di dunia Melayu.
Kitab ini menjelaskan unsur-unsur dasar ajaran sufi, seperti baiat, zikir,
muraqabah, silsilah (mata rantai spiritual) Tarekat Qadiriyyah wa
Naqsyabandiyyah. Penerus dan penyebaran tarekat TQN Semasa hidupnya Syekh Ahmad
Khatib Sambas mengangkat banyak khalifah (wakil), namun posisi pewaris utamanya
setelah beliau meninggal dipegang oleh Syekh ABD AL-KARIM BANTEN. Selain Syekh
Abdul Karim, dua wakil penting lainnya adalah Syekh Thalhah Kalisapu Cirebon, dan
Syekh Ahmad Hasbullah Ibn Muhammad Madura (Mbah Kholil) .
Pada
awalnya semuanya mengakui otoritas Syekh Abdul Karim, namun setelah Syekh Abdul
Karim meninggal, tidak ada lagi kepemimpinan pusat, dan karenanya TQN menjadi
terbagi dengan otoritas sendiri-sendiri. Syekh Thalhah mengembangkan
kemursyidan sendiri di Jawa Barat. Penerusnya yang paling penting adalah
Syekh ABDULLAH MUBARROK IBN NUR MUHAMMAD atau “Abah Sepuh” dari Suryalaya dan
putranya yang kharismatik Syekh AHMAD SHOHIBUL WAFA’ TAJ AL-ARIFIN.
Khalifah
lain di Jawa Barat adalah Kyai Falak, yang juga berasal dari Banten, yang
mengembangkan TQN di daerah Pagentongan, Bogor Jawa Barat. Untuk daerah Jawa
Tengah, penerus TQN yang penting adalah K.H. MUSLIH ABDURRAHMAN (Mbah Muslih),
yang menerima ijazah TQN dari K. H. Ibrahim al-Brumbungi, seorang khalifah dari
Syekh Abdul Karim, melalui Mbah Abd Rahman Menur. Salah satu murid Kyai Muslih,
yakni Kyai Abu Nur Jazuli menyebarkan TQN di Brebes. Murid lainnya, K. H. Durri
Nawawi mengajarkan TQN di Kajen, Pati. Sedangkan di Jawa Timur TQN berkembang
pesat di Rejoso Jombang, melalui jalur Syekh Ahmad Hasbullah Madura, terutama
di pesantren yang didirikan oleh Kyai Romli Tamim, dan kemudian diteruskan oleh
Kyai MUSTA’IN ROMLY. Kyai Musta’in ini sangat kharismatik, dan sempat menjadi
ketua Jam’iyyah Ahli Thoriqoh al-Mu’tabaroh. Tetapi pada pemilu 1977, karena
beliau berafiliasi ke Golkar, maka lembaga ini pecah menjadi dua. Pihak
penentang keterlibatan tarekat dalam politik kemudian mendirikan Jam’iyyah Ahli
Thoriqoh al-Mu’tabaroh al-Nahdliyyah (JATMAN), sedangkan kubu Kyai Musta’in
Romli menambahkan kata Indonesia di belakang nama organisasi itu (JATMI). Salah
satu murid kesayangan Kyai Romly Tamim adalah Kyai UTSMAN AL-ISHAQI, yang
menyebarkan TQN al-Utsmani di Surabaya.
Setelah
Kyai Utsman meninggal, kepemimpinannya diteruskan oleh Kyai AHMAD ASRORI
AL-ISHAQI (yang meninggal beberapa hari yang lalu – ya Allah sucikanlah sirr
beliau). Di bawah kepemimpinan beliau, tarekatnya menyebar luas hingga ke mana-mana.
Metode dan ajaran zikir Metode zikir tarekat ini menggunakan dua bentuk, zikir
keras (jahar) dan diam (khafi). Untuk zikir keras beliau menggunakan teknik
zikir dengan membaca laa ilaha illa Allah (kalimat nafy-itsbat) sebagaimana
dipraktikkan dalam Tarekat Qadiriyyah. Sedangkan zikir “diam” menggunakan
teknik dari Naqsyabandiyyah, yakni menyebut ism al-dzat: Allah. Namun praktik
ini sedikit dimodifikasi dengan memasukkan unsur zikir Naqsyabandiyyah, di mana
zikir kalimat tahlil itu dilakukan dengan mengacu pada titik-titik latha’if
(pl: lathifah) yang ada dalam tubuh manusia sebagaimana diajarkan dalam Tarekat
Naqsyabandiyyah. Tetapi dalam perkembangannya, meski prinsip dasarnya sama,
namun kaifiyyah dalam beberapa otoritas TQN yang belakangan tampak sedikit
berbeda, misalnya kaifiyyat zikir jahr TQN Suryalaya dengan TQN al-Utsmani
memiliki sedikit perbedaan dalam penekanan pada hentakan dan tempo zikir, dan
juga ada perbedaan dalam zikir khafinya. Demikian pula ada sedikit perbedaan
dalam jumlah zikir khafi TQN Suryalaya dengan TQN Mranggen di bawah otoritas
Kyai Muslih.. Walau demikian, prinsip dan tujuannya tetaplah sama – variasi itu
tidak mengubah substansi dari amalan TQN secara keseluruhan.
Berikut
sedikit prinsip umum metode zikir TQN – namun penjelasan di bawah lebih
didasarkan pada kaifiyyah dari TQN Suryalaya. Zikir jahar la ilaha illa Allah
dilakukan dengan membayangkan semacam garis imajiner yang melewati lathaif.
Fungsi “penarikan” garis zikir itu, yakni dari bawah ke atas, lalu ke kanan dan
kiri (untuk pemula yang belum berpengalaman dianjurkan dengan menggunakan gerak
kepala, sehingga dari luar tampak mereka berzikir dengan menggeleng-gelengkan
kepala) adalah agar kekuatan kalimat itu menyentuh titik-titik lthaif. Gerakan
simbolik dari zikir nafi-itsbat dimaksudkan agar semua lathifah tersebut, yang
diyakini merupakan pusat pengendalian nafsu dan kesadaran jiwa dan spiritual,
teraliri dan terkena energi dan panas zikir tahlil tersebut. Zikir pada mulanya
pelan, dan cenderung lebih panjang tarikan bacaannya, tetapi kemudian temponya
dipercepat dan suara makin meninggi, agar tercapai kondisi semacam “ekstase.”
Percepatan bacaan ini juga dimaksudkan untuk membentengi pikiran dari “lintasan
pikiran” (khatir) yang mengganggu hati, sehingga seluruh konsentrasi tertuju
pada Allah saja.
Kitab
Fath al-Arifin menggambarkan sepuluh lathifah, lima diantaranya yg utama adalah
qalb, ruh, sirr, khafi, dan akhfa, yang dikenal sebagai alam al-amr (alam
perintah). Lima lathifah lainnya adalah nafs, plus empat unsur: air, udara,
tanah dan api (alam al-khalq). Pada Naqsybandi dan tarekat cabang-cabangnya,
termasuk TQN, ada satu lathaif yang barangkali paling tinggi dan sulit dicapai,
yakni kullu jasad. Ini adalah kondisi “tanpa titik” di mana totalitas insan
(dimensi ruh, kognitif, dan fisik) telah dawam dalam berzikir dan “menjadi”
zikir itu sendiri. Itu adalah saat laya r kesadaran menjadi tanpa tepi dan siap
menerima limpahan (faid) ilmu dan rahasia-rahasia ruhani dari Allah.
wallohua'lam...
Sumber: dokumen di Grup facebook Pemuda TQN Suryalaya by. warkopmbahlalar.com
0 komentar :
Posting Komentar