Sangat sulit menjelaskan hakikat dan makrifat
kepada orang-orang yang mempelajari agama hanya pada tataran Syariat saja,
menghafal ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist akan tetapi tidak memiliki ruh dari
pada Al-Qur’an itu sendiri. Padahal hakikat dari Al-Qur’an itu adalah Nur Allah
yang tidak berhuruf dan tidak bersuara, dengan Nur itulah Rasulullah S.A.W.
memperoleh pengetahuan yang luar biasa dari Allah SWT. Hapalan tetap lah
hapalan dan itu tersimpan di otak yang dimensinya rendah tidak adakan mampu
menjangkau hakikat Allah, otak itu baharu sedangkan Allah itu adalah Qadim
sudah pasti Baharu tidak akan sampai kepada Qadim. Kalau anda cuma belajar dari
dalil dan mengharapkan bisa sampai kehadirat Allah dengan dalil yang anda
miliki maka saya memberikan garansi kepada anda: PASTI anda tidak akan sampai
kehadirat-Nya.
Ketika anda tidak sampai kehadirat-Nya sudah pasti anda sangat
heran dengan ucapan orang-orang yang sudah bermakrifat, bisa berjumpa dengan
Malaikat, berjumpa dengan Rasulullah SAW dan melihat Allah SWT, dan anda
menganggap itu sebuah kebohongan dan sudah pasti anda mengumpulkan lagi puluhan
bahkan ratusan dalil untuk membantah ucapan para ahli makrifat tersebut dengan
dalil yang menurut anda sudah benar, padahal kadangkala dalil yang anda berikan
justru sangat mendukung ucapan para Ahli Makrifat cuma sayangnya matahati anda
dibutakan oleh hawa nafsu, dalam Al-Qur’an disebuat Qatamallahu ‘ala Qukubihum
(Tertutup mata hati mereka) itulah hijab yang menghalangi anda menuju Tuhan.
Rasulullah SAW menggambarkan Ilmu hakikat dan makrifat itu
sebagai “Haiatul Maknun” artinya “Perhiasan yang sangat indah”. Sebagaimana
hadist yang dibawakan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda :
“Sesungguhnya sebagian ilmu itu ada yang diumpamakan seperti
perhiasan yang indah dan selalu tersimpan yang tidak ada seoranpun mengetahui
kecuali para Ulama Allah. Ketika mereka menerangkannya maka tidak ada yang
mengingkari kecuali orang-orang yang biasa lupa (tidak berzikir kepada Allah)”
(H.R. Abu Abdir Rahman As-Salamy)
Di dalam hadist ini jelas ditegaskan menurut kata Nabi bahwa
ada sebagian ilmu yang tidak diketahui oleh siapapun kecuali para Ulama Allah
yakni Ulama yang selalu Zikir kepada Allah dengan segala konsekwensinya. Ilmu
tersebut sangat indah laksana perhiasan dan tersimpan rapi yakni ilmu Thariqat
yang didalamnya terdapat amalan-amalan seperti Ilmu Latahif dan lain-lain.
Masih ingat kita cerita nabi Musa dengan nabi Khidir yang pada
akhir perjumpaan mereka membangun sebuah rumah untuk anak yatim piatu untuk
menjaga harta berupa emas yang tersimpan dalam rumah, kalau rumah tersebut
dibiarkan ambruk maka emasnya akan dicuri oleh perampok, harta tersebut tidak
lain adalah ilmu hakikat dan makrifat yang sangat tinggi nilainya dan rumah
yang dimaksud adalah ilmu syariat yang harus tetap dijaga untuk membentengi
agar tidak jatuh ketangan yang tidak berhak.
Semakin tegas lagi pengertian di atas dengan adanya hadist
nabi yang diriwayatkan dari Abu Hurairah sebagai berikut :
“Aku telah hafal dari Rasulillah dua macam ilmu, pertama ialah
ilmu yang aku dianjurkan untuk menyebarluaskan kepada sekalian manusia yaitu
Ilmu Syariat. Dan yang kedua ialah ilmu yang aku tidak diperintahkan untuk
menyebarluaskan kepada manusia yaitu Ilmu yang seperti “Hai’atil Maknun”. Maka
apabila ilmu ini aku sebarluaskan niscaya engkau sekalian memotong leherku
(engkau menghalalkan darahku). (HR. Thabrani)
Hadist di atas sangat jelas jadi tidak perlu diuraikan lagi,
dengan demikian barulah kita sadar kenapa banyak orang yang tidak senang dengan
Ilmu Thariqat? Karena ilmu itu memang amat rahasia, sahabat nabi saja tidak
diizinkan untuk disampaikan secara umum, karena ilmu itu harus diturunkan dan
mendapat izin dari Nabi, dari nabi izin itu diteruskan kepada Khalifah nya
terus kepada para Aulia Allah sampai saat sekarang ini.
Jika ilmu Hai’atil Maknun itu disebarkan kepada orang yang
belum berbait zikir atau “disucikan” sebagaimana telah firmankan dalam
Al-Qur’an surat Al-‘Ala, orang-orang yang cuma Ahli Syariat semata-mata, maka
sudah barang tentu akan timbul anggapan bahwa ilmu jenis kedua ini yakni Ilmu
Thariqat, Hakikat dan Ma’rifat adalah Bid’ah dlolalah.
Dan mereka ini mempunyai I’tikqat bahwa ilmu yang kedua
tersebut jelas diingkari oleh syara’. Padahal tidak demikian, bahwa hakekat
ilmu yang kedua itu tadi justru merupakan intisari daripada ilmu yang pertama
artinya ilmu Thariqat itu intisari dari Ilmu Syari’at.
Oleh karena itu jika anda ingin mengerti Thariqat, Hakekat dan
Ma’rifat secara mendalam maka sebaiknya anda berbai’at saja terlebih dahulu
dengan Guru Mursyid (Khalifah) yang ahli dan diberi izin dengan taslim dan
tafwidh dan ridho. Jadi tidak cukup hanya melihat tulisan buku-buku lalu
mengingkari bahkan mungkin mudah timbul prasangka jelek terhadap ahli thariqat.
Dalam setiap peristiwa yang mewarnai kehidupan ini, seringkali
kita tidak mampu atau tidak mau menangkap kehadiran Allah dengan segala
sifat-sifatNya. Padahal sifat-sifat Allah sangat terkait erat dengan ayat-ayat
kauniyahNya yang terhampar di atas muka bumiNya. Betapa Allah –melalui
ayat-ayat kauniyahNya- memang ingin menunjukkan keMaha KuasaanNya dan keMaha
BesaranNya agar hamba-hambaNya senantiasa mawas diri, waspada dan berhati-hati
dalam bertindak dan berprilaku agar tidak mengundang turunnya sifat JalilahNya
yang tidak akan mampu dibendung, apalagi dilawan oleh siapapun, dengan upaya
dan sarana kekuatan apapun tanpa terkecuali, karena memang Allahlah
satu-satunya pemilik kekuatan dan kekuasaan terhadap seluruh makhlukNya.
Berdasarkan pembacaan terhadap ayat-ayat Al Qur’an secara
berurutan, terdapat paling tidak empat ayat yang menyebut sifat-sifat Jamilah
dan Jalilah Allah secara berdampingan, yaitu: pertama, surah Al-Ma’idah [5]:
98, “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya dan bahwa
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. kedua, akhir surah
Al-An’am [6]: 165, “Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi
dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa
derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya
Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”. ketiga, surah Ar-Ra’d [13]: 6, “Mereka meminta kepadamu supaya disegerakan
(datangnya) siksa, sebelum (mereka meminta) kebaikan, padahal telah terjadi
bermacam-macam contoh siksa sebelum mereka.Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar
mempunyai ampunan (yang luas) bagi manusia sekalipun mereka zalim, dan
sesungguhnya Tuhanmu benar-benar sangat keras siksanya”. Dan keempat, surah
Al-Hijr [15]: 49-50, “Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa sesungguhnya
Aku-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, dan bahwa sesungguhnya
adzab-Ku adalah adzab yang sangat pedih”.
Pada masing-masing ayat di atas, Allah menampilkan DiriNya
dengan dua sifat yang saling berlawanan; Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang yang merupakan esensi dari sifat JamilahNya, namun pada masa yang
sama ditegaskan juga bahwa Allah amat keras dan pedih siksaanNya yang merupakan
cermin dari sifat JalilahNya. Menurut Ibnu Abbas r.a, seorang tokoh terkemuka
tafsir dari kalangan sahabat, ayat-ayat tersebut merupakan ayat Al Qur’an yang
sangat diharapkan oleh seluruh hamba Allah s.w.t. (Arja’ Ayatin fi KitabiLlah).
Karena –menurut Ibnu Katsir- ayat-ayat ini akan melahirkan dua sikap yang benar
secara seimbang dari hamba-hamba Allah yang beriman, yaitu sikap harap terhadap
sifat-sifat Jamilah Allah dan sikap cemas serta khawatir akan ditimpa sifat
Jalilah Allah (Ar-Raja’ wal Khauf). Sementara Imam Al-Qurthubi memahami ayat
tentang sifat-sifat Allah swt semakna dengan hadits Rasulullah s.a.w. yang
menegaskan, “Sekiranya seorang mukmin mengetahui apa yang ada di sisi Allah
dari ancaman adzabNya, maka tidak ada seorangpun yang sangat berharap akan
mendapat surgaNya. Dan sekiranya seorang kafir mengetahui apa yang ada di sisi
Allah dari rahmatNya, maka tidak ada seorangpun yang berputus asa dari
rahmatNya”. ( HR. Muslim)
Dalam konteks ini, Syekh Muhammad Mutawalli Asy-Sya’rawi, seorang
tokoh tafsir berkebangsaan Mesir mengelompokkan sifat-sifat Allah yang banyak
disebutkan oleh Al Qur’an kedalam dua kategori, yaitu Sifat-sifat Jamilah dan
Sifat-sifat Jalilah. Kedua sifat itu selalu disebutkan secara beriringan dan
berdampingan. Tidak disebut sifat-sifat Jamilah Allah, melainkan akan disebut
setelahnya sifat-sifat JalilahNya. Begitupula sebaliknya. Dan memang begitulah
Sunnatul Qur’an selalu menyebutkan segala sesuatu secara berlawanan; antara
surga dan neraka, kelompok yang dzalim dan kelompok yang baik, kebenaran dan
kebathilan dan lain sebagainya. Semuanya merupakan sebuah pilihan yang berada
di tangan manusia, karena manusia telah dianugerahi oleh Allah kemampuan untuk
memilih, tentu dengan konsekuensi dan pertanggung jawaban masing-masing.
“Bukankah Kami telah memberikan kepada (manusia) dua buah mata,. lidah dan dua
buah bibir. Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan; petunjuk dan
kesesatan”. (QS. Al-Balad: 8-10)
Sifat Jalilah yang dimaksudkan oleh beliau adalah sifat-sifat
yang menunjukkan kekuasaan, kehebatan, cepatnya perhitungan Allah dan kerasnya
ancaman serta adzab Allah swt yang akan melahirkan sifat Al-Khauf (rasa takut,
khawatir) pada diri hamba-hambaNya. Manakala Sifat Jamilah adalah sifat-sifat
yang menampilkan Allah sebagai Tuhan Yang Maha Pengasih, Penyayang, Pengampun,
Pemberi Rizki dan sifat-sifat lainnya yang memang sangat dinanti-nantikan
kehadirannya oleh setiap hamba Allah swt tanpa terkecuali. Dan jika dibuat
perbandingan antara kedua sifat tersebut, maka sifat jamilah Allah jelas lebih
banyak dan dominan dibanding sifat jalilahNya.
Pada tataran Implementasinya, pemahaman yang benar terhadap
kedua sifat Allah tersebut bisa ditemukan dalam sebuah hadits Rasulullah saw
yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik r.a. Anas menceritakan bahwa suatu hari
Rasulullah bertakziah kepada seseorang yang akan meninggal dunia. Ketika
Rasulullah bertanya kepada orang itu, “Bagaimana kamu mendapatkan dirimu
sekarang?”, ia menjawab, “Aku dalam keadaan harap dan cemas”. Mendengar jawaban
laki-laki itu, Rasulullah bersabda, ‘Tidaklah berkumpul dalam diri seseorang
dua perasaan ini, melainkan Allah akan memberikan apa yang dia harapkan dan
menenangkannya dari apa yang ia cemaskan”. (HR. At Tirmidzi dan Nasa’i).
Sahabat Abdullah bin Umar ra seperti dinukil oleh Ibnu Katsir
memberikan kesaksian bahwa orang yang dimaksud oleh ayat-ayat di atas adalah
Utsman bin Affan ra. Kesaksian Ibnu Umar tersebut terbukti dari pribadi Utsman
bahwa ia termasuk sahabat yang paling banyak bacaan Al Qur’an dan sholat
malamnya. Sampai Abu Ubaidah meriwayatkan bahwa Utsman terkadang mengkhatamkan
bacaan Al Qur’an dalam satu rakaat dari sholat malamnya. Sungguh satu tingkat
kewaspadaan hamba Allah yang tertinggi bahwa ia senantiasa khawatir dan cemas
akan murka dan ancaman adzab Allah swt dengan terus meningkatkan kualitas dan
kuantitas pengabdian kepadaNya. Disamping tetap mengharapkan rahmat Allah
melalui amal sholehnya.
Betapa peringatan dan cobaan Allah justru datang saat kita
lalai, saat kita terpesona dengan tarikan dunia dan saat kita tidak
menghiraukan ajaran-ajaranNya, agar kita semakin menyadari akan keberadaan
sifat-sifat Allah yang Jalillah maupun yang Jamilah untuk selanjutnya perasaan
harap dan cemas itu terimplementasi dalam kehidupan sehari-hari. Boleh jadi
saat ini Allah masih berkenan hadir dengan sifat JamilahNya dalam kehidupan
kita karena kasih sayangNya yang besar, namun tidak tertutup kemungkinan karena
dosa dan kemaksiatan yang selalu mendominasi perilaku kita maka yang akan hadir
justru sifat JalilahNya. Na’udzu biLlah. Memang hanya orang-orang yang selalu
waspada yang mampu mengambil hikmah dan pelajaran dari setiap peristiwa yang
terjadi. Saatnya kita lebih mawas diri dan meningkatkan kewaspadaan dalam
segala bentuknya agar terhindar dari sifat Jalilah Allah swt dan senatiasa
meraih sifat jamilahNya. Dan itulah tipologi manusia yang dipuji oleh Allah
dalam firmanNya yang bermaksud, “(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih
beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan
berdiri, sedang ia senantiasa cemas dan khawatir akan (azab) akhirat dan
mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang
mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang
yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”. (QS. Az-Zumar [39]: 9)
Semoga kasih sayang Allah yang merupakan cermin dari sifat
JamilahNya senantiasa mewarnai kehidupan ini dan menjadikannya sarat dengan
kebahagiaan, ketentraman dan kesejahteraan lahir dan bathin. Dan pada masa yang
sama, Allah berkenan menjauhkan bangsa ini dari sifat JalilahNya yang tidak
mungkin dapat dibendung dengan kekuatan apapun karena memang mayoritas umat ini
mampu merealisasikan nilai iman dan takwa dalam kehidupan sehari-hari mereka.
(Sumber: Dokumen di Facebook Pemuda TQN Suryalaya, dari berbagai sumber)
0 komentar :
Posting Komentar